Kamis, 08 April 2010


KECEWA SEORANG ANAK TIRI

Hanya ada sebuah kalimat sederhana yang mampu mewakili kekecewaan hatiku pada ayah tiriku. Kenapa kau harus menikah dengan ibuku tujuh belas tahun yang lalu? Kenapa bukan dengan orang lain?
Aku hanya bisa menghela nafas pendek ketika suara keras itu mendarat ditelingaku. Aku benar-benar memmbenci suara yang berasal dari mulut ayah tiriku itu. Entah kenapa, suaranya begitu bising dan tentu saja tak ada harganya sama sekali. Karena semua kata yang diucapkannya bagiku tidak lebih dari tong kosong yang dipukul-pukul dari luar.
Ayah tiriku memang bersuara keras, apalagi jika dia sedang marah. Tapi, sebagai anak tiri yang usianya mulai menginjak dua puluh tiga tahun, aku sama sekali tidak merasa takut dengan suaranya. Aku hanya tidak suka. Bagiku, kemarahan ayah tiriku tidak pantas untuk didengar. Kata-katanya hanya akan menyakitkan hati dan memerahkan telinga. Kalau kebanyakan orang selalu berpikir dahulu jika akan berbicara, sedangkan ayahku lain. Dia memilih untuk berbicara dulu baru berpikir. Sungguh ironis!
“ Aku tidak bisa jika sistemnya seperti ini!” Kata ayah tiriku padaku pada suatu siang. Waktu itu aku sedang menjaga toko miliknya. Toko bahan bangunan yang kini mulai ditinggalkan pembeli karena terlalu banyak saingan yang jauh lebih lengkap dan murah daripada toko ayahku.
Aku hanya diam mendengarnya. Sama sekali tak terlintas dipikiranku untuk membalas kata-katanya. Bukannya aku takut. Tapi, jika aku ikut bersuara mulutnya yang mengerucut itu akan semakin liar mengeluarkan kata-kata tak bermutu.
“ Dulu, rencana awalnya kamu memang disuruh menjaga toko ini. Ibumu sendiri yang menyuruhnya daripada kamu menganggur setelah lulus kuliah. Dan ibumu dulu juga bilang kalau dia akan memberimu uang setiap bulan….” Katanya berapi-api.
Aku tetap diam. Itu memang dulu, enam bulan yang lalu. Tapi setelah ayah tiriku meragukan aku untuk membawa uang toko, semua uang itu aku serahkan padanya sejak sebulan yang lalu.
Mulanya memang aku yang diberi tugas untuk mengelola toko yang sempat mati suri sekitar tiga bulan itu. Toko ayahku ini tutup total dan tidak pernah buka lagi. Orang-orang pasti akan berpikir jika pengusaha kaya seperti ayah tiriku itu sekarang sudah bangkrut. Aku berusaha menolongnya. Setidaknya agar namanya dimasyarakat menjadi baik seperti dulu.
Tapi, enam bulan berjalan ternyata malah menyiksaku sendiri. Toko tidak begitu ramai dan hanya ada beberapa orang saja yang membeli dan terkadang tidak ada satu pun pembeli yang bersedia mampir. Sementara antara pemasukan dari toko dengan pengeluaran untuk berbelanja, membayar tagihan telepon dan listrik jauh lebih besar. Aku mencoba menahan sabar.
 Aku rela meninggalkan hobiku dan apapun yang aku suka untuk membantu ayah tiriku ditokonya. Tapi rupanya lelaki tua itu tidak percaya padaku. Dia selalu menanyakan pemasukan dan pengeluaran uang toko. Ku sodorkan buku kecil yang memang sengaja aku buat untuk daftar pemasukan dan pengeluaran. Dan ternyata buku itu tak pernah dibukanya. Dia hanya sibuk menyalahkan dan menyalahkan saja.
“ Kemana uang yang dua belas juta itu?” Tanya ayah tiriku.. Uang dua belas juta itu adalah rekap pemasukan toko selama enam bulan dan belum dikurangi pengeluaran yang digunakan untuk bayar listrik, bayar tagihan telepon dan keperluan belanja harian. Dan sebulan yang lalu masalah itu sudah selesai. Lalu kenapa sekarang diungkit-ungkit lagi? Batinku kesal.
Dan sekali lagi aku hanya diam mendengarkan ayah tiriku berkata dengan nada suaranya yang semakin tinggi.
“ Selama ini kamu menjaga toko mana hasilnya? Kamu tidak memberikan hasil apa-apa!”
Hah?! Apa maksudnya? Jadi kerja kerasku membantunya itu tidak dianggap sedikitpun oleh dia? Padahal setiap hari aku harus merasakan tubuhku sakit semua karena terlalu banyak duduk di toko menunggu pembeli. Sekarang dia berkata seperti itu padaku? Padahal sedetikpun dia tak pernah mengajariku bagaimana mengelola toko ini agar bisa maju lagi seperti dulu. Dia lebih suka duduk ngobrol bersama teman-teman sebayanya dilapangan tenis yang ada didekat rumah.
Dia melanjutkan lagi,” Sekarang terserah padamu saja, kalau kamu masih mau membantuku silahkan tapi aku tidak bisa memberimu uang setiap bulan seperti yang kamu minta. Tapi, jika tidak aku bisa mengelolanya sendiri!”
Begitu mendengar kata-katanya, aku segera membereskan barang-barang milikku seperti buku, majalah dan alat tulis yang memang sengaja aku bawa ke toko. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan toko.
Rasanya hatiku sakit sekali. Kata-kata ayah tiriku yang menurutku tak bermutu itu telah melukai hatiku. Padahal uang yang aku minta tidak besar. Hanya dua ratus ribu! Toh, setiap hari dia juga tidak pernah memberiku uang. Aku butuh uang itu untuk jajan, membeli pelembab muka dan pulsa tentu saja. Dasar kikir! Batinku kesal.
Rasanya kekesalanku terus bertumpuk pada ayah tiriku itu. Aku merasa semakin benci saja padanya. Setiap dia ada didekatku aku langsung pergi. Mendengar mulutnya mengucapkan kata-kata apa saja baik ditujukan padaku atau tidak tetap saja bisa membuatku marah.
Ibuku sempat bertanya kepadaku tentang peristiwa di toko waktu itu.
“ Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanyanya.
Aku langsung menceritakan semuanya, agar rasa kesal dihatiku sedikit hilang.
“ Ya sudah…” Kata Ibuku,” Sekarang semuanya terserah kamu. Terserah hatimu. Kalau hatimu merasa nyaman silahkan kamu meneruskan membantu ayahmu tapi jika tidak kamu boleh mencari kesibukan lain. Ibu kasihan padamu karena usahamu membantu ayahmu tidak dihargai sama sekali…” Ya, ibuku memang sudah sangat hafal sifat ayahku.
Dan tentu saja tawaran dari ibuku aku terima. Selama ini menjaga toko membuatku tertekan. Dulu, sewaktu hari pertama aku menjaga toko saja, kakak tiriku sudah tidak terima. Meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun tapi aku yakin sekali kalau dia benci padaku. Terlihat dari raut mukanya yang tidak bersahabat. Dikiranya, aku mau merebut toko milik ayah tiriku ini. Padahal dalam hati tak terbersit sedikitpun untuk merebut apa yang bukan menjadi hakku.
Tapi, entah mengapa aku merasa menyesal setelah aku menceritakan peristiwa di toko itu pada ibuku. Tidak seharusnya aku bercerita. Karena aku hanya akan menambah beban ibuku saja. Huh, dasar bodoh! Runtukku dalam hati.
Lalu entah disengaja atau tidak, disaat aku sedang merenung sendiri aku jadi teringat beberapa peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. Tentu saja peristiwa itu semua bersumber dari ayah tiriku.
Pada saat usiaku masih sembilan tahun, untuk pertama kalinya aku tahu ibuku pingsan di kamar mandi. Dan untuk mengeluarkannya, pintu kamar mandi itu harus dijebol terlebih dahulu menggunakan linggis. Dan pada akhirnya aku tahu bahwa sebelum ibuku pingsan, ibuku bertengkar dengan ayah tiriku dan lelaki itu mencaci ibuku dengan kata-kata kasarnya. Hingga ibuku kaget dan jatuh pingsan.
Kebencian pertama muncul dihatiku untuk ayah tiriku.
Ternyata tidak sampai disitu saja. Banyak hal-hal yang membuatku terus membenci ayahku. Mulai dari kebiasaan ayah tiriku yang ternyata suka main perempuan. Dari mulai pembantu dirumahku sampai keponakannya sendiri pernah diajak kencan. Huh, dasar tua bangka gila! Batinku.
Yang lebih parahnya adalah ayah tiriku itu ternyata tidak punya malu. Dia tidak pernah memberi ibuku uang belanja setiap bulannya, sepeser pun! Tapi, ibuku hanya diam. Untungnya ibuku bekerja sendiri jadi setidaknya uang gajinya itu masih bisa untuk menghidupi aku dan adik-adikku.
Nduk, maafkan ibu ya jika pilihan hidup ibu ini ternyata membuatmu ikut merasakan susah…” Kata ibuku pada suatu sore.
Aku tersenyum kecut,” Ini sudah garis hidup kita, Bu. Semua sudah ditentukan oleh-Nya. Aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya. Terutama agar aku bisa menjadi orang yang kuat dan tegar menghadapi hidup ketika aku sudah berkeluarga sendiri nanti…”
Aku berjalan meninggalkan ibuku menuju ke kamarku. Dalam hati aku berkata: sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkan ayah tiriku. Jika dia terus melakukan hal yang membuat ibuku merasa sedih dan kecewa. Karena apa yang dirasakan ibuku akan menjalar ke hatiku.
***
Solo, 14 September 2009
                                                                                                                   by: Charissofis Nur Haqiqi
MARKUS DAN MAFIA PERADILAN
( Sebuah Virus Mental Budaya Penegakan Hukum )
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi suap berupa imbalan tertentu, sehingga perbuatannya sangat merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu, atau mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum. Oleh karenanya markus ini menjadi lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan rejekinya.

Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum, yang mendaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan Pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-jani, sbb : 1) Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan ; 2) Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan ; 3) Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka ; 4) Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang ; 5) Meringankan tuntutan (requisitoir) ; 6) Meringankan putusan ; 7) Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisi BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas ; 8) Mengupayakankan fasilitas khusus di RUTAN ; Dll.

Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri. Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini.

Adapun antara Makelar kasus (markus) dengan Mafia Peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain, dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi hampir disemua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato-pidato kosong belaka. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ”

Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab mereka kepada publik. Lebih baik tebal muka dan tidak punya rasa malu, dari pada menggubris sindiran publik yang bakal mengurangi rejeki mereka.

Buruknya kinerja para Penegak Hukum dan buruknya system pengawasan yang ada dalam proses penegakan hukum, telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan termasuk makelar kasus (markus) di Indonesia. Kenyataan ini bila kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan “markus” dan “mafia peradilan” eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini.

Oleh karenanya berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan menjadikan moral force yang berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai basic guna terbangunnya budaya sikap dan prilaku para Penegak hukum di Indonesia. Tanpa itu, semuanya menjadi utopia belaka ! ( Desember 2009 )

Mafia Hukum

Mafia Hukum & Mafia Peradilan
Oleh : Drs. M Sofyan Lubis, SH

Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.

Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No.25 tahun 1997.

Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.

Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-undang.

Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.

Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.

Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.

Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.

Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.

Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan !

Kamis, 08 April 2010


KECEWA SEORANG ANAK TIRI

Hanya ada sebuah kalimat sederhana yang mampu mewakili kekecewaan hatiku pada ayah tiriku. Kenapa kau harus menikah dengan ibuku tujuh belas tahun yang lalu? Kenapa bukan dengan orang lain?
Aku hanya bisa menghela nafas pendek ketika suara keras itu mendarat ditelingaku. Aku benar-benar memmbenci suara yang berasal dari mulut ayah tiriku itu. Entah kenapa, suaranya begitu bising dan tentu saja tak ada harganya sama sekali. Karena semua kata yang diucapkannya bagiku tidak lebih dari tong kosong yang dipukul-pukul dari luar.
Ayah tiriku memang bersuara keras, apalagi jika dia sedang marah. Tapi, sebagai anak tiri yang usianya mulai menginjak dua puluh tiga tahun, aku sama sekali tidak merasa takut dengan suaranya. Aku hanya tidak suka. Bagiku, kemarahan ayah tiriku tidak pantas untuk didengar. Kata-katanya hanya akan menyakitkan hati dan memerahkan telinga. Kalau kebanyakan orang selalu berpikir dahulu jika akan berbicara, sedangkan ayahku lain. Dia memilih untuk berbicara dulu baru berpikir. Sungguh ironis!
“ Aku tidak bisa jika sistemnya seperti ini!” Kata ayah tiriku padaku pada suatu siang. Waktu itu aku sedang menjaga toko miliknya. Toko bahan bangunan yang kini mulai ditinggalkan pembeli karena terlalu banyak saingan yang jauh lebih lengkap dan murah daripada toko ayahku.
Aku hanya diam mendengarnya. Sama sekali tak terlintas dipikiranku untuk membalas kata-katanya. Bukannya aku takut. Tapi, jika aku ikut bersuara mulutnya yang mengerucut itu akan semakin liar mengeluarkan kata-kata tak bermutu.
“ Dulu, rencana awalnya kamu memang disuruh menjaga toko ini. Ibumu sendiri yang menyuruhnya daripada kamu menganggur setelah lulus kuliah. Dan ibumu dulu juga bilang kalau dia akan memberimu uang setiap bulan….” Katanya berapi-api.
Aku tetap diam. Itu memang dulu, enam bulan yang lalu. Tapi setelah ayah tiriku meragukan aku untuk membawa uang toko, semua uang itu aku serahkan padanya sejak sebulan yang lalu.
Mulanya memang aku yang diberi tugas untuk mengelola toko yang sempat mati suri sekitar tiga bulan itu. Toko ayahku ini tutup total dan tidak pernah buka lagi. Orang-orang pasti akan berpikir jika pengusaha kaya seperti ayah tiriku itu sekarang sudah bangkrut. Aku berusaha menolongnya. Setidaknya agar namanya dimasyarakat menjadi baik seperti dulu.
Tapi, enam bulan berjalan ternyata malah menyiksaku sendiri. Toko tidak begitu ramai dan hanya ada beberapa orang saja yang membeli dan terkadang tidak ada satu pun pembeli yang bersedia mampir. Sementara antara pemasukan dari toko dengan pengeluaran untuk berbelanja, membayar tagihan telepon dan listrik jauh lebih besar. Aku mencoba menahan sabar.
 Aku rela meninggalkan hobiku dan apapun yang aku suka untuk membantu ayah tiriku ditokonya. Tapi rupanya lelaki tua itu tidak percaya padaku. Dia selalu menanyakan pemasukan dan pengeluaran uang toko. Ku sodorkan buku kecil yang memang sengaja aku buat untuk daftar pemasukan dan pengeluaran. Dan ternyata buku itu tak pernah dibukanya. Dia hanya sibuk menyalahkan dan menyalahkan saja.
“ Kemana uang yang dua belas juta itu?” Tanya ayah tiriku.. Uang dua belas juta itu adalah rekap pemasukan toko selama enam bulan dan belum dikurangi pengeluaran yang digunakan untuk bayar listrik, bayar tagihan telepon dan keperluan belanja harian. Dan sebulan yang lalu masalah itu sudah selesai. Lalu kenapa sekarang diungkit-ungkit lagi? Batinku kesal.
Dan sekali lagi aku hanya diam mendengarkan ayah tiriku berkata dengan nada suaranya yang semakin tinggi.
“ Selama ini kamu menjaga toko mana hasilnya? Kamu tidak memberikan hasil apa-apa!”
Hah?! Apa maksudnya? Jadi kerja kerasku membantunya itu tidak dianggap sedikitpun oleh dia? Padahal setiap hari aku harus merasakan tubuhku sakit semua karena terlalu banyak duduk di toko menunggu pembeli. Sekarang dia berkata seperti itu padaku? Padahal sedetikpun dia tak pernah mengajariku bagaimana mengelola toko ini agar bisa maju lagi seperti dulu. Dia lebih suka duduk ngobrol bersama teman-teman sebayanya dilapangan tenis yang ada didekat rumah.
Dia melanjutkan lagi,” Sekarang terserah padamu saja, kalau kamu masih mau membantuku silahkan tapi aku tidak bisa memberimu uang setiap bulan seperti yang kamu minta. Tapi, jika tidak aku bisa mengelolanya sendiri!”
Begitu mendengar kata-katanya, aku segera membereskan barang-barang milikku seperti buku, majalah dan alat tulis yang memang sengaja aku bawa ke toko. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan toko.
Rasanya hatiku sakit sekali. Kata-kata ayah tiriku yang menurutku tak bermutu itu telah melukai hatiku. Padahal uang yang aku minta tidak besar. Hanya dua ratus ribu! Toh, setiap hari dia juga tidak pernah memberiku uang. Aku butuh uang itu untuk jajan, membeli pelembab muka dan pulsa tentu saja. Dasar kikir! Batinku kesal.
Rasanya kekesalanku terus bertumpuk pada ayah tiriku itu. Aku merasa semakin benci saja padanya. Setiap dia ada didekatku aku langsung pergi. Mendengar mulutnya mengucapkan kata-kata apa saja baik ditujukan padaku atau tidak tetap saja bisa membuatku marah.
Ibuku sempat bertanya kepadaku tentang peristiwa di toko waktu itu.
“ Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanyanya.
Aku langsung menceritakan semuanya, agar rasa kesal dihatiku sedikit hilang.
“ Ya sudah…” Kata Ibuku,” Sekarang semuanya terserah kamu. Terserah hatimu. Kalau hatimu merasa nyaman silahkan kamu meneruskan membantu ayahmu tapi jika tidak kamu boleh mencari kesibukan lain. Ibu kasihan padamu karena usahamu membantu ayahmu tidak dihargai sama sekali…” Ya, ibuku memang sudah sangat hafal sifat ayahku.
Dan tentu saja tawaran dari ibuku aku terima. Selama ini menjaga toko membuatku tertekan. Dulu, sewaktu hari pertama aku menjaga toko saja, kakak tiriku sudah tidak terima. Meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun tapi aku yakin sekali kalau dia benci padaku. Terlihat dari raut mukanya yang tidak bersahabat. Dikiranya, aku mau merebut toko milik ayah tiriku ini. Padahal dalam hati tak terbersit sedikitpun untuk merebut apa yang bukan menjadi hakku.
Tapi, entah mengapa aku merasa menyesal setelah aku menceritakan peristiwa di toko itu pada ibuku. Tidak seharusnya aku bercerita. Karena aku hanya akan menambah beban ibuku saja. Huh, dasar bodoh! Runtukku dalam hati.
Lalu entah disengaja atau tidak, disaat aku sedang merenung sendiri aku jadi teringat beberapa peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. Tentu saja peristiwa itu semua bersumber dari ayah tiriku.
Pada saat usiaku masih sembilan tahun, untuk pertama kalinya aku tahu ibuku pingsan di kamar mandi. Dan untuk mengeluarkannya, pintu kamar mandi itu harus dijebol terlebih dahulu menggunakan linggis. Dan pada akhirnya aku tahu bahwa sebelum ibuku pingsan, ibuku bertengkar dengan ayah tiriku dan lelaki itu mencaci ibuku dengan kata-kata kasarnya. Hingga ibuku kaget dan jatuh pingsan.
Kebencian pertama muncul dihatiku untuk ayah tiriku.
Ternyata tidak sampai disitu saja. Banyak hal-hal yang membuatku terus membenci ayahku. Mulai dari kebiasaan ayah tiriku yang ternyata suka main perempuan. Dari mulai pembantu dirumahku sampai keponakannya sendiri pernah diajak kencan. Huh, dasar tua bangka gila! Batinku.
Yang lebih parahnya adalah ayah tiriku itu ternyata tidak punya malu. Dia tidak pernah memberi ibuku uang belanja setiap bulannya, sepeser pun! Tapi, ibuku hanya diam. Untungnya ibuku bekerja sendiri jadi setidaknya uang gajinya itu masih bisa untuk menghidupi aku dan adik-adikku.
Nduk, maafkan ibu ya jika pilihan hidup ibu ini ternyata membuatmu ikut merasakan susah…” Kata ibuku pada suatu sore.
Aku tersenyum kecut,” Ini sudah garis hidup kita, Bu. Semua sudah ditentukan oleh-Nya. Aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya. Terutama agar aku bisa menjadi orang yang kuat dan tegar menghadapi hidup ketika aku sudah berkeluarga sendiri nanti…”
Aku berjalan meninggalkan ibuku menuju ke kamarku. Dalam hati aku berkata: sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkan ayah tiriku. Jika dia terus melakukan hal yang membuat ibuku merasa sedih dan kecewa. Karena apa yang dirasakan ibuku akan menjalar ke hatiku.
***
Solo, 14 September 2009
                                                                                                                   by: Charissofis Nur Haqiqi
MARKUS DAN MAFIA PERADILAN
( Sebuah Virus Mental Budaya Penegakan Hukum )
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Makelar Kasus (markus) di sini lebih dimaksudkan, siapa saja yang mencoba dan berupaya mempengaruhi Penegak Hukum yang sedang menangani suatu kasus, sehingga proses hukum menguntungkan orang-orang tertentu dengan memberi suap berupa imbalan tertentu, sehingga perbuatannya sangat merugikan mereka pencari keadilan yang seharusnya menerima keadilan itu, atau mengorbankan orang yang tidak bersalah sebagai tumbal hukum. Oleh karenanya markus ini menjadi lapangan pekerjaan yang sangat menjanjikan rejekinya.

Markus pada prinsipnya biasa dilakukan oleh orang yang bukan penegak hukum, yang mendaku mempunyai hubungan baik dan memiliki akses dengan Pejabat yang sedang menangani kasus tertentu dengan janji-jani, sbb : 1) Dapat mengeluarkan tersangka dari tahanan ; 2) Dapat meredam perkaranya tidak sampai ke Pengadilan ; 3) Dapat mengkondisi dari pasal yang dijerat yang seharusnya berat dibuat ke pasal ringan yang disangkakan kepada tersangka ; 4) Mensplit perkara kemudian dibebaskan dari pintu belakang ; 5) Meringankan tuntutan (requisitoir) ; 6) Meringankan putusan ; 7) Kalau terlanjur ditahan dan harus ke Pengadilan, maka mengkondisi BAP dan saksi agar tidak terbukti, dan dapat dituntut bebas ; 8) Mengupayakankan fasilitas khusus di RUTAN ; Dll.

Pada umumnya “markus” juga bisa dilakukan oleh Penegak Hukum itu sendiri, baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara menggunakan orang lain sebagai perantara yang diciptakannya sendiri. Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik, dimana system dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para Penegak Hukum, memberikan peluang untuk diselewengkan, dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan, tergantung siapa yang memesannya. Hukum dan keadilan dapat dibeli oleh mereka orang-orang berduit, sehingga ia menjadi barang mahal di negeri ini.

Adapun antara Makelar kasus (markus) dengan Mafia Peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan. Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari Makelar Kasus. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain, dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi hampir disemua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato-pidato kosong belaka. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ”

Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab mereka kepada publik. Lebih baik tebal muka dan tidak punya rasa malu, dari pada menggubris sindiran publik yang bakal mengurangi rejeki mereka.

Buruknya kinerja para Penegak Hukum dan buruknya system pengawasan yang ada dalam proses penegakan hukum, telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan termasuk makelar kasus (markus) di Indonesia. Kenyataan ini bila kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan “markus” dan “mafia peradilan” eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini.

Oleh karenanya berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan menjadikan moral force yang berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai basic guna terbangunnya budaya sikap dan prilaku para Penegak hukum di Indonesia. Tanpa itu, semuanya menjadi utopia belaka ! ( Desember 2009 )

Mafia Hukum

Mafia Hukum & Mafia Peradilan
Oleh : Drs. M Sofyan Lubis, SH

Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.

Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No.25 tahun 1997.

Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.

Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-undang.

Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.

Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.

Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.

Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.

Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. “ Sekali lagi tidak akan pernah… ! ” Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.

Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.

Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Namun upaya untuk menempatkan hukum menjadi panglima di negeri ini diperlukan juga adanya polical will dari para elite politik dan gerakan moral dari seluruh anak bangsa yang perduli akan nasib bangsa ini, serta membrantas politikus busuk yang lagi sibuk merebut kekuasaan !