Kamis, 08 April 2010


KECEWA SEORANG ANAK TIRI

Hanya ada sebuah kalimat sederhana yang mampu mewakili kekecewaan hatiku pada ayah tiriku. Kenapa kau harus menikah dengan ibuku tujuh belas tahun yang lalu? Kenapa bukan dengan orang lain?
Aku hanya bisa menghela nafas pendek ketika suara keras itu mendarat ditelingaku. Aku benar-benar memmbenci suara yang berasal dari mulut ayah tiriku itu. Entah kenapa, suaranya begitu bising dan tentu saja tak ada harganya sama sekali. Karena semua kata yang diucapkannya bagiku tidak lebih dari tong kosong yang dipukul-pukul dari luar.
Ayah tiriku memang bersuara keras, apalagi jika dia sedang marah. Tapi, sebagai anak tiri yang usianya mulai menginjak dua puluh tiga tahun, aku sama sekali tidak merasa takut dengan suaranya. Aku hanya tidak suka. Bagiku, kemarahan ayah tiriku tidak pantas untuk didengar. Kata-katanya hanya akan menyakitkan hati dan memerahkan telinga. Kalau kebanyakan orang selalu berpikir dahulu jika akan berbicara, sedangkan ayahku lain. Dia memilih untuk berbicara dulu baru berpikir. Sungguh ironis!
“ Aku tidak bisa jika sistemnya seperti ini!” Kata ayah tiriku padaku pada suatu siang. Waktu itu aku sedang menjaga toko miliknya. Toko bahan bangunan yang kini mulai ditinggalkan pembeli karena terlalu banyak saingan yang jauh lebih lengkap dan murah daripada toko ayahku.
Aku hanya diam mendengarnya. Sama sekali tak terlintas dipikiranku untuk membalas kata-katanya. Bukannya aku takut. Tapi, jika aku ikut bersuara mulutnya yang mengerucut itu akan semakin liar mengeluarkan kata-kata tak bermutu.
“ Dulu, rencana awalnya kamu memang disuruh menjaga toko ini. Ibumu sendiri yang menyuruhnya daripada kamu menganggur setelah lulus kuliah. Dan ibumu dulu juga bilang kalau dia akan memberimu uang setiap bulan….” Katanya berapi-api.
Aku tetap diam. Itu memang dulu, enam bulan yang lalu. Tapi setelah ayah tiriku meragukan aku untuk membawa uang toko, semua uang itu aku serahkan padanya sejak sebulan yang lalu.
Mulanya memang aku yang diberi tugas untuk mengelola toko yang sempat mati suri sekitar tiga bulan itu. Toko ayahku ini tutup total dan tidak pernah buka lagi. Orang-orang pasti akan berpikir jika pengusaha kaya seperti ayah tiriku itu sekarang sudah bangkrut. Aku berusaha menolongnya. Setidaknya agar namanya dimasyarakat menjadi baik seperti dulu.
Tapi, enam bulan berjalan ternyata malah menyiksaku sendiri. Toko tidak begitu ramai dan hanya ada beberapa orang saja yang membeli dan terkadang tidak ada satu pun pembeli yang bersedia mampir. Sementara antara pemasukan dari toko dengan pengeluaran untuk berbelanja, membayar tagihan telepon dan listrik jauh lebih besar. Aku mencoba menahan sabar.
 Aku rela meninggalkan hobiku dan apapun yang aku suka untuk membantu ayah tiriku ditokonya. Tapi rupanya lelaki tua itu tidak percaya padaku. Dia selalu menanyakan pemasukan dan pengeluaran uang toko. Ku sodorkan buku kecil yang memang sengaja aku buat untuk daftar pemasukan dan pengeluaran. Dan ternyata buku itu tak pernah dibukanya. Dia hanya sibuk menyalahkan dan menyalahkan saja.
“ Kemana uang yang dua belas juta itu?” Tanya ayah tiriku.. Uang dua belas juta itu adalah rekap pemasukan toko selama enam bulan dan belum dikurangi pengeluaran yang digunakan untuk bayar listrik, bayar tagihan telepon dan keperluan belanja harian. Dan sebulan yang lalu masalah itu sudah selesai. Lalu kenapa sekarang diungkit-ungkit lagi? Batinku kesal.
Dan sekali lagi aku hanya diam mendengarkan ayah tiriku berkata dengan nada suaranya yang semakin tinggi.
“ Selama ini kamu menjaga toko mana hasilnya? Kamu tidak memberikan hasil apa-apa!”
Hah?! Apa maksudnya? Jadi kerja kerasku membantunya itu tidak dianggap sedikitpun oleh dia? Padahal setiap hari aku harus merasakan tubuhku sakit semua karena terlalu banyak duduk di toko menunggu pembeli. Sekarang dia berkata seperti itu padaku? Padahal sedetikpun dia tak pernah mengajariku bagaimana mengelola toko ini agar bisa maju lagi seperti dulu. Dia lebih suka duduk ngobrol bersama teman-teman sebayanya dilapangan tenis yang ada didekat rumah.
Dia melanjutkan lagi,” Sekarang terserah padamu saja, kalau kamu masih mau membantuku silahkan tapi aku tidak bisa memberimu uang setiap bulan seperti yang kamu minta. Tapi, jika tidak aku bisa mengelolanya sendiri!”
Begitu mendengar kata-katanya, aku segera membereskan barang-barang milikku seperti buku, majalah dan alat tulis yang memang sengaja aku bawa ke toko. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan toko.
Rasanya hatiku sakit sekali. Kata-kata ayah tiriku yang menurutku tak bermutu itu telah melukai hatiku. Padahal uang yang aku minta tidak besar. Hanya dua ratus ribu! Toh, setiap hari dia juga tidak pernah memberiku uang. Aku butuh uang itu untuk jajan, membeli pelembab muka dan pulsa tentu saja. Dasar kikir! Batinku kesal.
Rasanya kekesalanku terus bertumpuk pada ayah tiriku itu. Aku merasa semakin benci saja padanya. Setiap dia ada didekatku aku langsung pergi. Mendengar mulutnya mengucapkan kata-kata apa saja baik ditujukan padaku atau tidak tetap saja bisa membuatku marah.
Ibuku sempat bertanya kepadaku tentang peristiwa di toko waktu itu.
“ Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanyanya.
Aku langsung menceritakan semuanya, agar rasa kesal dihatiku sedikit hilang.
“ Ya sudah…” Kata Ibuku,” Sekarang semuanya terserah kamu. Terserah hatimu. Kalau hatimu merasa nyaman silahkan kamu meneruskan membantu ayahmu tapi jika tidak kamu boleh mencari kesibukan lain. Ibu kasihan padamu karena usahamu membantu ayahmu tidak dihargai sama sekali…” Ya, ibuku memang sudah sangat hafal sifat ayahku.
Dan tentu saja tawaran dari ibuku aku terima. Selama ini menjaga toko membuatku tertekan. Dulu, sewaktu hari pertama aku menjaga toko saja, kakak tiriku sudah tidak terima. Meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun tapi aku yakin sekali kalau dia benci padaku. Terlihat dari raut mukanya yang tidak bersahabat. Dikiranya, aku mau merebut toko milik ayah tiriku ini. Padahal dalam hati tak terbersit sedikitpun untuk merebut apa yang bukan menjadi hakku.
Tapi, entah mengapa aku merasa menyesal setelah aku menceritakan peristiwa di toko itu pada ibuku. Tidak seharusnya aku bercerita. Karena aku hanya akan menambah beban ibuku saja. Huh, dasar bodoh! Runtukku dalam hati.
Lalu entah disengaja atau tidak, disaat aku sedang merenung sendiri aku jadi teringat beberapa peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. Tentu saja peristiwa itu semua bersumber dari ayah tiriku.
Pada saat usiaku masih sembilan tahun, untuk pertama kalinya aku tahu ibuku pingsan di kamar mandi. Dan untuk mengeluarkannya, pintu kamar mandi itu harus dijebol terlebih dahulu menggunakan linggis. Dan pada akhirnya aku tahu bahwa sebelum ibuku pingsan, ibuku bertengkar dengan ayah tiriku dan lelaki itu mencaci ibuku dengan kata-kata kasarnya. Hingga ibuku kaget dan jatuh pingsan.
Kebencian pertama muncul dihatiku untuk ayah tiriku.
Ternyata tidak sampai disitu saja. Banyak hal-hal yang membuatku terus membenci ayahku. Mulai dari kebiasaan ayah tiriku yang ternyata suka main perempuan. Dari mulai pembantu dirumahku sampai keponakannya sendiri pernah diajak kencan. Huh, dasar tua bangka gila! Batinku.
Yang lebih parahnya adalah ayah tiriku itu ternyata tidak punya malu. Dia tidak pernah memberi ibuku uang belanja setiap bulannya, sepeser pun! Tapi, ibuku hanya diam. Untungnya ibuku bekerja sendiri jadi setidaknya uang gajinya itu masih bisa untuk menghidupi aku dan adik-adikku.
Nduk, maafkan ibu ya jika pilihan hidup ibu ini ternyata membuatmu ikut merasakan susah…” Kata ibuku pada suatu sore.
Aku tersenyum kecut,” Ini sudah garis hidup kita, Bu. Semua sudah ditentukan oleh-Nya. Aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya. Terutama agar aku bisa menjadi orang yang kuat dan tegar menghadapi hidup ketika aku sudah berkeluarga sendiri nanti…”
Aku berjalan meninggalkan ibuku menuju ke kamarku. Dalam hati aku berkata: sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkan ayah tiriku. Jika dia terus melakukan hal yang membuat ibuku merasa sedih dan kecewa. Karena apa yang dirasakan ibuku akan menjalar ke hatiku.
***
Solo, 14 September 2009
                                                                                                                   by: Charissofis Nur Haqiqi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 08 April 2010


KECEWA SEORANG ANAK TIRI

Hanya ada sebuah kalimat sederhana yang mampu mewakili kekecewaan hatiku pada ayah tiriku. Kenapa kau harus menikah dengan ibuku tujuh belas tahun yang lalu? Kenapa bukan dengan orang lain?
Aku hanya bisa menghela nafas pendek ketika suara keras itu mendarat ditelingaku. Aku benar-benar memmbenci suara yang berasal dari mulut ayah tiriku itu. Entah kenapa, suaranya begitu bising dan tentu saja tak ada harganya sama sekali. Karena semua kata yang diucapkannya bagiku tidak lebih dari tong kosong yang dipukul-pukul dari luar.
Ayah tiriku memang bersuara keras, apalagi jika dia sedang marah. Tapi, sebagai anak tiri yang usianya mulai menginjak dua puluh tiga tahun, aku sama sekali tidak merasa takut dengan suaranya. Aku hanya tidak suka. Bagiku, kemarahan ayah tiriku tidak pantas untuk didengar. Kata-katanya hanya akan menyakitkan hati dan memerahkan telinga. Kalau kebanyakan orang selalu berpikir dahulu jika akan berbicara, sedangkan ayahku lain. Dia memilih untuk berbicara dulu baru berpikir. Sungguh ironis!
“ Aku tidak bisa jika sistemnya seperti ini!” Kata ayah tiriku padaku pada suatu siang. Waktu itu aku sedang menjaga toko miliknya. Toko bahan bangunan yang kini mulai ditinggalkan pembeli karena terlalu banyak saingan yang jauh lebih lengkap dan murah daripada toko ayahku.
Aku hanya diam mendengarnya. Sama sekali tak terlintas dipikiranku untuk membalas kata-katanya. Bukannya aku takut. Tapi, jika aku ikut bersuara mulutnya yang mengerucut itu akan semakin liar mengeluarkan kata-kata tak bermutu.
“ Dulu, rencana awalnya kamu memang disuruh menjaga toko ini. Ibumu sendiri yang menyuruhnya daripada kamu menganggur setelah lulus kuliah. Dan ibumu dulu juga bilang kalau dia akan memberimu uang setiap bulan….” Katanya berapi-api.
Aku tetap diam. Itu memang dulu, enam bulan yang lalu. Tapi setelah ayah tiriku meragukan aku untuk membawa uang toko, semua uang itu aku serahkan padanya sejak sebulan yang lalu.
Mulanya memang aku yang diberi tugas untuk mengelola toko yang sempat mati suri sekitar tiga bulan itu. Toko ayahku ini tutup total dan tidak pernah buka lagi. Orang-orang pasti akan berpikir jika pengusaha kaya seperti ayah tiriku itu sekarang sudah bangkrut. Aku berusaha menolongnya. Setidaknya agar namanya dimasyarakat menjadi baik seperti dulu.
Tapi, enam bulan berjalan ternyata malah menyiksaku sendiri. Toko tidak begitu ramai dan hanya ada beberapa orang saja yang membeli dan terkadang tidak ada satu pun pembeli yang bersedia mampir. Sementara antara pemasukan dari toko dengan pengeluaran untuk berbelanja, membayar tagihan telepon dan listrik jauh lebih besar. Aku mencoba menahan sabar.
 Aku rela meninggalkan hobiku dan apapun yang aku suka untuk membantu ayah tiriku ditokonya. Tapi rupanya lelaki tua itu tidak percaya padaku. Dia selalu menanyakan pemasukan dan pengeluaran uang toko. Ku sodorkan buku kecil yang memang sengaja aku buat untuk daftar pemasukan dan pengeluaran. Dan ternyata buku itu tak pernah dibukanya. Dia hanya sibuk menyalahkan dan menyalahkan saja.
“ Kemana uang yang dua belas juta itu?” Tanya ayah tiriku.. Uang dua belas juta itu adalah rekap pemasukan toko selama enam bulan dan belum dikurangi pengeluaran yang digunakan untuk bayar listrik, bayar tagihan telepon dan keperluan belanja harian. Dan sebulan yang lalu masalah itu sudah selesai. Lalu kenapa sekarang diungkit-ungkit lagi? Batinku kesal.
Dan sekali lagi aku hanya diam mendengarkan ayah tiriku berkata dengan nada suaranya yang semakin tinggi.
“ Selama ini kamu menjaga toko mana hasilnya? Kamu tidak memberikan hasil apa-apa!”
Hah?! Apa maksudnya? Jadi kerja kerasku membantunya itu tidak dianggap sedikitpun oleh dia? Padahal setiap hari aku harus merasakan tubuhku sakit semua karena terlalu banyak duduk di toko menunggu pembeli. Sekarang dia berkata seperti itu padaku? Padahal sedetikpun dia tak pernah mengajariku bagaimana mengelola toko ini agar bisa maju lagi seperti dulu. Dia lebih suka duduk ngobrol bersama teman-teman sebayanya dilapangan tenis yang ada didekat rumah.
Dia melanjutkan lagi,” Sekarang terserah padamu saja, kalau kamu masih mau membantuku silahkan tapi aku tidak bisa memberimu uang setiap bulan seperti yang kamu minta. Tapi, jika tidak aku bisa mengelolanya sendiri!”
Begitu mendengar kata-katanya, aku segera membereskan barang-barang milikku seperti buku, majalah dan alat tulis yang memang sengaja aku bawa ke toko. Aku segera beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan toko.
Rasanya hatiku sakit sekali. Kata-kata ayah tiriku yang menurutku tak bermutu itu telah melukai hatiku. Padahal uang yang aku minta tidak besar. Hanya dua ratus ribu! Toh, setiap hari dia juga tidak pernah memberiku uang. Aku butuh uang itu untuk jajan, membeli pelembab muka dan pulsa tentu saja. Dasar kikir! Batinku kesal.
Rasanya kekesalanku terus bertumpuk pada ayah tiriku itu. Aku merasa semakin benci saja padanya. Setiap dia ada didekatku aku langsung pergi. Mendengar mulutnya mengucapkan kata-kata apa saja baik ditujukan padaku atau tidak tetap saja bisa membuatku marah.
Ibuku sempat bertanya kepadaku tentang peristiwa di toko waktu itu.
“ Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanyanya.
Aku langsung menceritakan semuanya, agar rasa kesal dihatiku sedikit hilang.
“ Ya sudah…” Kata Ibuku,” Sekarang semuanya terserah kamu. Terserah hatimu. Kalau hatimu merasa nyaman silahkan kamu meneruskan membantu ayahmu tapi jika tidak kamu boleh mencari kesibukan lain. Ibu kasihan padamu karena usahamu membantu ayahmu tidak dihargai sama sekali…” Ya, ibuku memang sudah sangat hafal sifat ayahku.
Dan tentu saja tawaran dari ibuku aku terima. Selama ini menjaga toko membuatku tertekan. Dulu, sewaktu hari pertama aku menjaga toko saja, kakak tiriku sudah tidak terima. Meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun tapi aku yakin sekali kalau dia benci padaku. Terlihat dari raut mukanya yang tidak bersahabat. Dikiranya, aku mau merebut toko milik ayah tiriku ini. Padahal dalam hati tak terbersit sedikitpun untuk merebut apa yang bukan menjadi hakku.
Tapi, entah mengapa aku merasa menyesal setelah aku menceritakan peristiwa di toko itu pada ibuku. Tidak seharusnya aku bercerita. Karena aku hanya akan menambah beban ibuku saja. Huh, dasar bodoh! Runtukku dalam hati.
Lalu entah disengaja atau tidak, disaat aku sedang merenung sendiri aku jadi teringat beberapa peristiwa yang tidak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun. Tentu saja peristiwa itu semua bersumber dari ayah tiriku.
Pada saat usiaku masih sembilan tahun, untuk pertama kalinya aku tahu ibuku pingsan di kamar mandi. Dan untuk mengeluarkannya, pintu kamar mandi itu harus dijebol terlebih dahulu menggunakan linggis. Dan pada akhirnya aku tahu bahwa sebelum ibuku pingsan, ibuku bertengkar dengan ayah tiriku dan lelaki itu mencaci ibuku dengan kata-kata kasarnya. Hingga ibuku kaget dan jatuh pingsan.
Kebencian pertama muncul dihatiku untuk ayah tiriku.
Ternyata tidak sampai disitu saja. Banyak hal-hal yang membuatku terus membenci ayahku. Mulai dari kebiasaan ayah tiriku yang ternyata suka main perempuan. Dari mulai pembantu dirumahku sampai keponakannya sendiri pernah diajak kencan. Huh, dasar tua bangka gila! Batinku.
Yang lebih parahnya adalah ayah tiriku itu ternyata tidak punya malu. Dia tidak pernah memberi ibuku uang belanja setiap bulannya, sepeser pun! Tapi, ibuku hanya diam. Untungnya ibuku bekerja sendiri jadi setidaknya uang gajinya itu masih bisa untuk menghidupi aku dan adik-adikku.
Nduk, maafkan ibu ya jika pilihan hidup ibu ini ternyata membuatmu ikut merasakan susah…” Kata ibuku pada suatu sore.
Aku tersenyum kecut,” Ini sudah garis hidup kita, Bu. Semua sudah ditentukan oleh-Nya. Aku yakin semua ini pasti ada hikmahnya. Terutama agar aku bisa menjadi orang yang kuat dan tegar menghadapi hidup ketika aku sudah berkeluarga sendiri nanti…”
Aku berjalan meninggalkan ibuku menuju ke kamarku. Dalam hati aku berkata: sampai kapanpun aku tak akan pernah memaafkan ayah tiriku. Jika dia terus melakukan hal yang membuat ibuku merasa sedih dan kecewa. Karena apa yang dirasakan ibuku akan menjalar ke hatiku.
***
Solo, 14 September 2009
                                                                                                                   by: Charissofis Nur Haqiqi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar